Kamis, 15 Desember 2011

Yang Lalu Biarlah Berlalu

            Mengenang dan mengingat masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan di dalamnya merupakan tindakan bodoh dan gila. Itu, sama artinya dengan membunuh semangat, memupuskan tekad dan mengubur masa depan yang belum terjadi. Bagi orang yang berpiki, berkas-berkas masa lalu akan dilipat dan tak pernah dilihat kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam 'ruang'penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam 'penjara' pengacuhan selamanya. Atau, diletakkan di dalam ruang gelap yang tak tertembus cahaya, Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis. Kesedihan tak akan mampu mengembalikannya lagi, keresahan tak akan sanggup memperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnya menjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.
            Jangan pernah hidup dalam mimpi buruk masa lalu, atau di bawah payung gelap masa silam. Selamatkan diri anda dari bayangan maa lalu! Apakah anda ingin mengembalikan air sungai ke hulu, matahari ke tempatnya terbit, seorok bayi ke perut ibunya, air susu ke payudara sang ibu, dan air mata ke dalam kelopak mata? Ingatlah, keterikatan anda dengan masa lalu, keresahan anda atas apa yang telah terjadi padanya, keterbakaran emosi jiwa anda oleh api panasnya, dan kedekatan jiwa anda pada pintunya, adalah kondisi yang sangat naif, ironis, memprihatinkan, dan sekaligus menakutkan.
           Membaca kembali lembaran masa lalu hanya akan memupuskan masa depan, mengendurkan semangat, dan menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga. Dalam Al-Qur'an, setiap kali usai menerangkan kondisi suatu kaum dan apa saja yang telah mereka lakukan. Allah selalu mengatakan, "Itu adalah umat yang lalu". Begitulah, ketika suatu perkara habis, maka selesai pula urusannya. Dan tak ada gunanya mengurai kembali bangkai zaman dan memutar kembali roda sejarah. Orang yang berusaha kembali ke masa lalu, adalah tak ubahnya orang yang menumbuk tepung, atau orang yang menggergaji sebotang kayu.
           Syahdan, nenek moyang kita dahulu selalu mengingatkan orang yang meratapi masa lalunya demkian: "Janganlah engkau mengeluarkan mayat-mayat itu dari kuburnya". Dan konon, kata orang yang mengerti bahasa binatang, sekawan binatang sering bertanya kepada seekor keledai begini, "Mengapa engkau tidak menarik gerobak?".
           "Aku benci khayalan,"jawab keledai.
           Adalah bencana besar, manakala kita rela mengabaikan masa depan dan justru hanya disibukkan oleh masa lalu. Itu, sama halnya dengan kita mengabaikan istana-istana yang indah dengan sibuk meratapi puing-puing yang telah lapuk. Padahal, betapapun seluruh manusia dan ijin bersatu untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu, niscaya mereka tidak akan pernah mampu. Sebab, yang demikian itu sudah mustahil pada adanya.
           Orang yang berpikiran jernihtidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, setiap kafilah akan berjalan ke depan, dan segala sesuatu bergerak maju jke depan. Maka itu, janganlah pernah melawan sunnah kehidupan.

8 Alasan mengapa harus berakhlak mulia

ImageAkhlaq dalam Islam itu meliputi dimensi batiniyah dan lahiriyah sekaligus, apa yang ada dalam hati dan apa yang tercermin dalam perilaku melalui organ-organ tubuh kita. Inilah yang membedakan akhlaq dengan etiket. Jika etiket hanya mementingkan apa yang nampak dari diri seseorang, akhlaq tidak. Dalam konsep akhlaq, yang ada dalam batin kita harus bersih dan baik – yang kemudian tercermin dalam perilaku kita. Bukan hanya baik diluarnya, sebagaimana yang terjadi pada orang yang pura-pura dan mengidap penyakit nifaq.
Pertanyaannya, mengapa kita harus berakhlaq mulia dan membebaskan diri dari akhlaq tercela? Jawabannya setidak-tidaknya bisa dijelaskan dalam delapan poin.
Pertama, misi utama Islam adalah menyempurnakan akhlaq yang mulia. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim). Bahkan ibadah-ibadah yang kita lakukan pun selalu dikaitkan dengan pembersihan jiwa dan pencapaian akhlaq yang mulia. Penjelasannya ada disini.
Kedua, akhlaq yang mulia merupakan warisan Rasulullah saw, sementara beliau adalah uswah (teladan) kita. Allah SWT berfirman, ”Dan sesungguhnya kamu )wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam : 4)
Ketiga, akhlaq merupakan parameter utama keimanan. Rasulullah saw bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya” (HR At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban).
Rasulullah saw juga mengaitkan akhlaq yang mulia dengan kualitas keimanan. Diantaranya adalah dalam hadits beliau: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR Muslim).
Bahkan Rasulullah saw mengecam orang yang berakhlaq buruk dan menyebutnya tidak beriman. Rasulullah saw bersabda, "Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman," Mereka (para sahabat) berkata; "Apa itu wahai Rasulullah?" Rasulullah saw bersabda: "Yaitu seseorang yang tetangganya tidak bisa aman dari bawa`iqnya". Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah apa itu bawa`iqnya?" Rasulullah saw bersabda: "Kejelekan dan kejahatannya." (HR Ahmad)
Keempat, akhlaq yang mulia akan memberatkan timbangan dan meninggikan derajat seseorang di surga. Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang lebih memberatkan timbangan (kebaikan) (pada Hari Kiamat) daripada akhlaq yang baik” (HR At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Hibban). Beliau saw juga menjanjikan rumah di surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya. Beliau saw bersabda, Aku menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan yang tidak perlu meskipun ia berada di pihak yang benar; dan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta, meskipun gurau; dan sebuah rumah di surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya” (HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Kelima, akhlaq yang mulia merupakan sebab masuk surga dan terhindar dari neraka. Rasulullah saw pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, maka beliau pun menjawab: "Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia." Beliau juga pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, maka beliau menjawab: "Mulut dan kemaluan." (HR At-Tirmidzi)
Keenam, akhlaq yang mulia sanggup mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. (QS. Fushilat : 34)
Ketujuh, akhlaq merupakan salah satu faktor terpenting penjaga keistiqamahan seseorang. Diantara akhlaq-akhlaq penjaga keistiqamahan tersebut adalah: ikhlas, sabar, tawakkal, kelapangan dada, berani, jujur, rasa malu dan sebagainya.
Dan kedelapan, akhlaq merupakan faktor utama bagi keberhasilan dakwah. Perhatikanlah firman Allah SWT: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu*. (QS. Ali Imran: 159)
*Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.
Karena itu, Allah SWT berfirman: Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An Nahl : 125)
Dengan akhlaq yang mulia, Rasulullah saw sanggup meluluhkan hati keras seorang Arab Badui yang secara tidak sopan buang air kecil didalam masjid. Sebagaimana diceritakan dalam hadits muttafaq ‘alaih, suatu ketika seorang Arab Badui datang ke masjid Nabi dan buang air kecil di dalam masjid tersebut. Kontan saja para sahabat yang mengetahui hal itu langsung marah dan siap memukul Arab Badui tersebut. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya. Bukannya marah-marah, Rasulullah saw justru menunggu si Badui itu menyelesaikan buang airnya. Setelah itu dengan tenang Rasulullah saw menyiram tanah yang barusan dikencingi oleh si Badui tersebut, sementara si Badui hanya tertegun melihatnya. Ternyata dengan tindakan Rasulullah saw ini, hati si Badui menjadi luluh, dan akhirnya menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah saw.

Makna Ikhlas

ImagePengertian Ikhlas
Dari sisi lughawi (bahasa), kata ikhlas berasal dari akar kata kh-l-sh yang artinya murni, tidak bercampur dengan yang lainnya. Laban khaalish dalam bahasa arab berarti susu murni yang tidak bercampur dengan apapun. Tidak bercampur dengan air, tidak bercampur dengan gula, tidak pula bercampur dengan yang lainnya. Dengan demikian ikhlas berarti memurnikan sesuatu. Dalam konteks kajian tauhid dan akhlaq, tentu saja yang dimaksud adalah memurnikan penghambaan dan ketaatan hanya kepada Allah semata.
Adapun secara terminologis (isthilahi), ikhlas berarti mengerjakan amal perbuatan lillahi ta’ala, semata-mata karena Allah, tidak karena yang lainnya. Yang diharapkan hanyalah ridha dan balasan dari Allah. Sebagian ulama yang lain mendefinisikan ikhlas sebagai “an laa tathluba ‘alaa ‘amalika ayya syuhuud” (engkau melakukan amal perbuatan tidak karena ingin dilihat oleh seseorang). Ini sesuai dengan firman Allah SWT di penggal terakhir QS Al-Fath: 28: “Wa kafaa billahi syahiidan” (Dan cukuplah Allah semata sebagai saksi – atas segala amal perbuatan).
Mengapa kita ikhlas?
Setidak-tidaknya ada tujuh alasan mengapa kita harus bersikap ikhlas dalam melakukan setiap amal perbuatan. Alasan pertama, karena ikhlas adalah perintah Allah. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Bayyinah: 5: “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan (memurnikan) ketaatan semata-mata untuk-Nya dalam menjalankan agama yang lurus.” Allah SWT juga berfirman dalam QS Al-An’am: 162-163: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Alasan kedua, ikhlas merupakan manifestasi tauhid. Karena itu para ulama menyebut riya’ sebagai syirik yang tersembunyi (al-syirk al-khafiyy). Karena orang yang riya’ berarti telah menyekutukan Allah dalam niatnya, menyekutukan Allah dalam peruntukan ibadahnya.
Alasan ketiga, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal. Sebagaimana diketahui, syarat diterimanya amal ada dua: ikhlas dan benar. Jika salah satu saja dari kedua syarat ini tidak terpenuhi, suatu amalan tidak akan diterima oleh Allah. Dalam QS Al-Kahfi: 110 Allah SWT mengisyaratkan dua syarat tersebut: “Maka barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah ia beramal dengan amalan yang benar (shalih) dan ia tidak menyekutukan ibadah kepada Tuhannya dengan sesuatupun.”
Perlu juga diketahui bahwa yang membatalkan pahala amal kita ada dua. Pertama, pembatal pahala semua amal, yaitu kekafiran atau kemusyrikan. Ini terjadi jika kita tidak menyembah Tuhan (atheis), atau menyembah tuhan selain Allah (kafir), atau menyembah tuhan yang lain bersama-sama Allah (musyrik). Namun ketika seorang atheis, kafir atau musyrik kembali pada iman dan tauhid, maka pahalanya akan kembali, kesalahannya dihapus, bahkan kesalahannya akan diubah menjadi kebaikan.
Kedua, pembatal amal tertentu. Ini terjadi jika kita tidak ikhlas dalam melakukan suatu amal tertentu. Inipun ada dua keadaan. Keadaan pertama adalah tidak ikhlas dalam suatu amal secara keseluruhan (ashlul ‘amal), misalnya orang yang sholat karena riya’, maka sholatnya secara keseluruhan tidak berpahala. Keadaan kedua adalah tidak ikhlas dalam aushaful ‘amal (sifat-sifat amal), misalnya seseorang yang sholat karena Allah, tetapi memperpanjang rakaat/ruku’/sujud karena manusia, maka panjangnya rakaat/ruku’/sujud itu saja yang tidak berpahala.
Alasan keempat, keikhlasan menentukan nilai amal kita. Innamal a’malu bin niyyat, amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Wa innama likullimri-in ma nawa, setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Hadits tentang keikhlasan ini ditaruh sebagai hadits nomor 1 dari 42 hadits pilihan tentang pokok-pokok agama dalam Hadits Arba’in Nawawiyah. Ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan. Sabab wurud dari hadits ini adalah karena adanya seorang laki-laki yang berhijrah karena ingin menikahi wanita muhajirin bernama Ummu Qays, bukan berhijrah karena taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Keikhlasan memang akan menentukan nilai amal kita. Orang yang beramal demi akhirat tidak sama dengan orang yang beramal demi dunia. Jika seseorang beramal demi dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bagian akhirat (pahala). Ia hanya mungkin mendapatkan dunia, atau bahkan mungkin tidak mendapatkannya. Tetapi jika ia beramal untuk akhirat, maka ia akan mendapatkan bagian akhirat (pahala), dan Allah juga Maha Adil dan Maha Pemurah sehingga juga akan memberinya bagian dunia. Sehingga ia mendapatkan dunia dan akhirat sekaligus.
Demikian pula, niat memiliki kedudukan yang amat tinggi. Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw, jika seseorang mempunyai niat untuk beramal baik niscaya ia sudah dinilai 1 kebaikan, meski belum melaksanakan amal baik tersebut. Jika ia betul-betul melaksanakan niatnya, maka pahalanya akan dilipatgandakan minimal 10 kali lipat. Namun niat buruk belum dinilai 1 keburukan sampai benar-benar dilaksanakan. Dan jika dilaksanakan hanya dinilai 1 keburukan saja.
Nilai amal baik kita amat tergantung pada niat kita.  Amal baik tanpa niat benar, meski banyak, tidak diterima. Tetapi amal baik dengan niat benar, meski sedikit, bernilai besar di sisi Allah. Bahkan amal-amal mubah bisa bernilai kebaikan (ibadah) hanya karena niatnya. Pahala amal mubah bisa berbeda karena perbedaan niatnya. Karena itu mari kita biasakan untuk menata niat ketika melakukan perkara-perkara yang mubah sekalipun. Ikhlas bukan hanya dalam ibadah mahdhah, tetapi juga dalam setiap perkara yang kita lakukan dalam hidup ini (Qul inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin).
Karena sedemikian pentingnya niat, bahkan ada orang-orang yang tanpa beramal bisa mendapatkan pahala kebaikan sebagaimana orang yang beramal hanya karena niatnya. Misalnya, sebagai ditegaskan dalam hadits Nabi saw, dalam kasus orang miskin yang ingin bersedekah. Atau dalam kasus seseorang yang berniat dengan tulus untuk mencapai syahid. Rasulullah saw bersabda: Man sa-ala Allaha asy-syahadah bishidqin ballaghahullahu manazilasy syuhada’ wa in maata ‘alaa firaasyihi (Barangsiapa memohon kesyahidan kepada Allah dengan tulus dan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan menyampaikannya pada derajat orang-orang yang mati syahid meskipun ia mati diatas ranjang tempat tidurnya) - HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
Alasan kelima, keikhlasan akan menyelamatkan kita dari godaan syetan. Ini sesuai dengan pengakuan Iblis Sang Penghulu Syetan itu sendiri, yang diabadikan dalam QS: 79-83: “Iblis berkata: Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan". Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)". Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.
Bahkan Yusuf as yang sedang digoda oleh seorang wanita cantik, kaya, dan terpandang pun, hanya bisa selamat karena ia memiliki keikhlasan, sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam QS Yusuf: 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas.”
Alasan keenam, tidak adanya keikhlasan akan mencelakakan kita di akhirat nanti. Yang lebih celaka lagi adalah jika kita sewaktu beramal di dunia ini tidak menyadari bahwa kita tidak ikhlas. Karena itulah Rasulullah saw memberi tuntunan agar kita setiap pagi dan setiap petang berdoa sebagai berikut: “Allahumma inni a’udzu bika min an usyrika bika syaian a’lamuh, wa astaghfiruka lima laa a’lamuh (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu sedangkan aku mengetahui. Dan aku mohon ampun kepada-Mu dari yang tidak aku ketahui).”
Perhatikan pula sabda Rasulullah saw tentang tiga jenis manusia yang akan pertama kali dilempar ke neraka, padahal tiga orang itu adalah seorang mujahid, seorang 'alim dan pandai Al-Qur'an, dan seorang yang gemar berinfaq. Ketiganya celaka dan dilempar ke neraka hanya karena satu hal: mereka tidak ikhlas.
Dan alasan ketujuh, keikhlasan akan mendatangkan kekuatan. Ini sesuai dengan kisah penebang pohon yang disampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya. Dalam hadits tersebut dikisahkan tentang seorang dai yang hendak menebang pohon yang dijadikan berhala oleh penduduk sebuah kampung. Sang dai hendak menebang pohon itu karena Allah. Ketika Iblis berusaha menghadang sang dai dan keduanya berkelahi, kalahlah Iblis. Namun Iblis sesudah itu melakukan tipu daya. Ia membujuk sang dai agar tidak usah lagi berusaha menebang pohon, dengan kompensasi bahwa Iblis akan memberi sang dai sejumlah uang setiap pagi, yang diletakkan dibawah bantal sang dai. Namun setelah beberapa lama uang itu diberikan, suatu saat Iblis tidak lagi memberikan uang. Marahlah sang dai, dan diambillah kapaknya. Ia berangkat dengan marah untuk menebang kembali pohon tersebut. Iblis pun kembali menghadangnya, kedua kembali berkelahi, namun kali ini sang dai yang dikalahkan oleh Iblis. Sang dai kalah karena kali ini tidak ikhlas karena Allah, tetapi karena sejumlah uang. Ia marah karena Iblis tidak lagi memberinya uang.

Bagaimana Doa dikabulkan oleh Allah SWT

Bagaimana Doa Dikabulkan oleh Allah?
Kapan doa dikabulkan adalah pada waktu yang dikehendaki oleh Allah. Yang jelas, doa seorang mukmin tidak akan pernah sia-sia. Bahkan, doa seorang mukmin pasti akan “dikabulkan” oleh Allah, tetapi bagaimana, dalam bentuk apa, dan dengan cara apa doa itu dikabulkan adalah sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah.
ImageRasulullah saw bersabda,”Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan tidak untuk memutuskan silaturahim, kecuali Allah pasti akan memberikan kepadanya salah satu dari tiga hal: Allah akan mengabulkan doanya dengan segera, atau Allah akan menyimpan doanya (sebagai suatu pahala) di akhirat, atau Allah akan memalingkan dan menghindarkannya dari suatu keburukan yang sebanding dengan doanya itu.” (HR Ahmad, Al-Bazzar, dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid. Diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dan beliau berkata: sanadnya shahih. Demikian pula Adz-Dzahabi sependapat dengan beliau).
Demikianlah cara Allah mengabulkan doa seorang mukmin. Ada doa yang dikabulkan dengan segera. Inilah yang sering kita sebut sebagai doa yang dikabulkan. Ketika doa seseorang tidak dikabulkan dengan segera, ia akan mengatakan bahwa doanya tidak dikabulkan. Padahal Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Karena itulah bagi sebagian orang Allah justru menyimpan pahala doanya di akhirat. Akhirat adalah hari dimana setiap orang sangat butuh dengan pahala. Ketika itulah setiap orang berharap seandainya doa-doanya di dunia tidak ada yang dikabulkan di dunia, sehingga bisa menjadi simpanan pahala di akhirat.
Bentuk lain dari pengabulan doa adalah dipalingkan dan dihindarkannya seseorang dari keburukan, kejahatan, musibah, atau marabahaya yang sebanding dengan doanya. Jika Anda berdoa agar diberi rizki sebanyak 50 juta rupiah, manakah yang lebih Anda sukai: mendapatkan uang sejumlah itu lalu jatuh sakit yang biaya pengobatannya sebesar 50 juta rupiah, ataukah Anda terhindar dari sakit tersebut? Tentunya Anda akan lebih memilih yang kedua bukan? Demikianlah Allah Maha Bijaksana dan Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.

10 Karakter Muslim sejati

ImageApakah Anda pernah berpikir seperti apa muslim sejati itu? Bagaimanakah sosoknya? Seorang muslim sejati bisa diibaratkan seperti sebuah pohon. Akarnya kuat menghunjam. Batangnya kuat menjulang, demikian pula dahan dan bahkan ranting-rantingnya. Daun-daunnya lebat. Dan setiap musim menghasilkan buah yang banyak dan manis rasanya.
Akar-akar yang kokoh tersebut adalah salimul ‘aqidah (aqidah yang lurus), shahihul ‘ibadah (ibadah yang benar), dan matinul khuluq (akhlaq yang mulia). Ibarat akar sebuah pohon, tiga karakter inilah yang akan menopang karakter-karakter lainnya. Karakter-karakter baik tidak akan mampu tumbuh dengan baik jika tiga karakter dasar ini rapuh. Adapun batang, dahan, ranting, dan daun-daunnya adalah potensi-potensi diri yang tumbuh dengan baik, yang meliputi karakter qawiyyul jism (fisik yang kuat), mutsaqqaful fikr (berwawasan luas), mujaahidun linafsihi (pengendalian diri), harisun ‘ala waqtihi (menjaga waktu), munazhzhamun fii syu’unihi (tertib dalam setiap urusan), dan qadirun ‘alal kasbi (mampu mencari nafkah). Sedangkan buah yang bisa dipetik setiap musim adalah karakternya yang nafi’un lighairihi (memberi manfaat bagi orang lain). Semua karakter tadi jika dikumpulkan berjumlah sepuluh. Itulah sepuluh karakter muslim sejati. Dan berikut ini uraian singkat mengenai masing-masing karakter tersebut.
Pertama, salimul ‘aqidah (aqidah yang lurus). Seorang muslim sejati memiliki aqidah yang kokoh, yang tidak bercampur dengan sedikit pun keraguan dan kesyirikan. Tidak pula bisa diombang-ambingkan dan dibuat gelap mata oleh sulitnya kehidupan. Ia ridha Allah sebagai tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai nabi dan rasulnya. Ia beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab yang diturunkan kepada para rasul-Nya, Hari Akhir, dan taqdir-Nya. Keimanannya bukan pula hanya pengakuan di bibir saja, namun terpatri kuat dalam hati dan termanifestasikan dalam segenap perilakunya. Itulah iman yang sebenarnya, yang tidak hanya sekadar ’percaya’, namun juga benar-benar mewujud dalam sikap dan perilaku.
Kedua, shahihul ‘ibadah (ibadah yang benar). Diatas aqidah yang kuat, seorang muslim senantiasa giat beribadah. Ibadahnya pun benar-benar ditunaikan sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Untuk ibadah-ibadah yang bersifat ritual (mahdhah), ia hanya mengikuti contoh tauqifi (apa adanya) dari Rasulullah, tidak menambah-nambahi dan tidak pula mengurangi. Sedangkan untuk ibadah-ibadah yang bersifat muamalah (ghayr mahdhah), ia senantiasa berkreasi dan berinovasi dengan menyandarkannya pada bingkai (manhaj) yang telah dituntunkan oleh Rasulullah.
Ketiga, matinul khuluq (akhlaq yang mulia). Dengan aqidah yang kokoh dan ibadah yang giat, muncullah akhlaq yang mulia pada diri seorang muslim, ibarat mutiara yang indah dan berkilau. Akhlaq meliputi keadaan hati seseorang dan juga suluknya (moralitas, perilaku, dan adabnya). Hati seorang muslim adalah hati yang bening, yang bersih dari segala bentuk penyakit hati, dan bahkan dipenuhi dengan sifat-sifat yang mulia seperti ikhlas, tawakkal, sabar, ridha, cinta kasih, dan sebagainya. Adapun suluk seorang muslim adalah suluk yang terpuji dan menawan, yang muncul dari dirinya secara spontan karena telah menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dari kepribadiannya.
Keempat, qawiyyul jism (fisik yang kuat). Seorang muslim sejati tidak akan menelantarkan keadaan tubuhnya. Ia senantiasa menjaga agarnya tubuhnya sehat dan bugar. Ia selalu berusaha mengkonsumsi makanan dan minuman yang baik untuk kesehatan, dan membiasakan pola hidup sehat. Bahkan, ia juga melatih tubuhnya agar memiliki stamina yang kuat, dengan cara rajin berolahraga. Ia sadar, dengan tubuh yang sehat, bugar, dan kuat, ia akan mampu menjalankan ibadah dengan lebih baik.
Kelima, mutsaqqaful fikr (berwawasan luas). Seorang muslim sejati juga senantiasa memperhatikan akal pikirannya. Ia benar-benar mensyukuri nikmat akal pikiran dengan cara terus mengasah kecerdasannya dan memberinya ilmu dan wawasan baru. Tidak hanya ilmu mengenai agamanya, tetapi juga wawasan umum yang perlu diketahui. Ia tidak pernah berhenti belajar, karena ia tahu bahwa menuntut ilmu itu minal mahdi ilal lahdi ’dari lahir sampai mati’.
Keenam, mujaahidun linafsihi (pengendalian diri). Pada diri manusia terdapat nafsu yang senantiasa condong pada kemewahan dan kesenangan dunia, dan senantiasa mendorong manusia untuk melakukan berbagai macam keburukan. Seorang muslim sejati adalah seseorang yang bisa mengendalikan segala dorongan tersebut dan mengendalikan dirinya. Allah Ta’ala berfirman, ”Adapun barangsiapa yang takut akan kebesaran Tuhannya dan sanggup menahan dirinya dari ajakan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (QS An-Nazi’at: 40-41)
Ketujuh, harisun ‘ala waqtihi (menjaga waktu). Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Jika waktu telah bergerak, ia tidak akan mampu dimundurkan meski hanya satu detik saja. Untuk itu, seorang muslim sejati benar-benar perhatian dengan waktu. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi hal-hal yang buruk. Ia tahu bahwa kewajiban yang mesti ia tunaikan lebih banyak daripada waktu yang ia miliki. Untuk itulah, ia benar-benar cermat dalam mengatur waktu yang ia miliki.
Kedelapan, munazhzhamun fii syu’unihi (tertib dalam setiap urusan). Seorang muslim sejati bukanlah orang yang suka melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Ia senantiasa menunaikan urusan dan pekerjaannya dengan baik. Prinsip yang senantiasa ia pegang adalah ihsan dan itqan dalam beramal ’melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya’. Dengan begitu iapun akan menjadi muslim yang berprestasi, beretos kerja tinggi, dan berkinerja jempolan.
Kesembilan, qadirun ’alal kasbi (mampu mencari nafkah). Seorang muslim sejati bukanlah seorang pengemis dan peminta-minta. Ia senantiasa berusaha untuk bisa mandiri. Ia pun tahu bahwa tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah. Untuk itu iapun giat bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan ekonominya dan bisa berinfaq di jalan Allah.
Kesepuluh, nafi’un lighairihi (memberi manfaat bagi orang lain). Dengan segala potensi dan kapasitas yang dimiliki, seorang muslim sejati pasti bermanfaat bagi masyarakat. Ia pasti bisa berkontribusi untuk umat dengan segala kelebihan yang ia miliki. Ia bukanlah orang yang ’adanya sama dengan tidak adanya’, atau orang yang ’adanya tidak menambah dan tidak adanya tidak mengurangi’, apalagi orang yang ’adanya tidak diinginkan dan tidak adanya senantiasa diharapkan’. Rasulullah saw bersabda, ”Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lainnya.”
Demikianlah sekilas mengenai sepuluh karakter muslim sejati. Mari kita senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas diri kita, sehingga bisa memenuhi kesepuluh kriteria ini. Dengan menjadi muslim sejati, kita akan lebih siap untuk berkontribusi dalam memperjuangkan agama Allah. Insyaallah

Ukhuwah Islamiyyah

Makna dan Hakikat Ukhuwah
Menurut Imam Hasan Al-Banna, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.
ImageUkhuwah Islamiyah adalah satu dari tiga unsur kekuatan yang menjadi karakteristik masyarakat Islam di zaman Rasulullah, yaitu pertama, kekuatan iman dan aqidah. Kedua, kekuatan ukhuwah dan ikatan hati. Dan ketiga, kekuatan kepemimpinan dan senjata.
Dengan tiga kekuatan ini, Rasulullah saw membangun masyarakat ideal, memperluas Islam, mengangkat tinggi bendera tauhid, dan mengeksiskan umat Islam atas muka dunia kurang dari setengah abad.
Sekarang ini, kita berusaha memperbaharui kekuatan ukhuwah ini, karena ukhuwah memiliki pengaruh kuat dan aktif dalam proses mengembalikan kejayaan umat Islam.
Kedudukan Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah adalah nikmat Allah, anugerah suci, dan pancaran cahaya rabbani yang Allah persembahkan untuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan pilihan. Allahlah yang menciptakannya. Allah berfirman:  “…Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu.” (QS: Ali Imran: 103).  “…Lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara…” (QS: Ali Imran: 103).
Ukhuwah adalah pemberian Allah, yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Allah berfirman:  “…Walaupun kamu membelanjakan semua (kakayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka… (QS: Al-Anfal: 63)”
Selain nikmat dan pemberian, ukhuwah memiliki makna empati, lebih dari sekadar simpati. Rasulullah Saw bersabda: “Perumpamaan seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam kelembutan dan kasih sayang, bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang merasa sakit, maka seluruh bagian tubuh lainnya turut merasakannya.” (HR. Imam Muslim).
Dengan ukhuwah, sesama mukmin akan saling menopang dan menguatkan, menjadi satu umat yang kuat. Rasulullah Saw. Bersabda: “Mukmin satu sama lainnya bagaikan bangunan yang sebagiannya mengokohkan bagian lainnya.” (HR. Imam Bukhari).
Adapun hubungannya dengan iman, ukhuwah diikat oleh iman dan taqwa. Sebaliknya, iman juga diikat dengan ukhuwah. Allah berfirman:  “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (QS: Al-Hujurat: 10).” Artinya, mukmin itu pasti bersaudara. Dan tidak ada persaudaraan kecuali dengan keimanan. Jika Anda melihat ada yang bersaudara bukan karena iman, maka ketahuilah itu adalah persaudaraan dusta. Tidak memiliki akar dan tidak memiliki buah. Jika Anda melihat iman tanpa persaudaraan, maka itu adalah iman yang tidak sempurna, belum mencapai derajat yang diinginkan, bahkan bisa berakhir dengan permusuhan. Allah berfirman:  “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Zukhruf: 67).
Keutamaan Ukhuwah Islamiah
Ukhuwah memiliki banyak sekali keutamaan. Pertama, dengan ukhuwah kita bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah Saw. bersabda: “Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Imam Bukhari).
Kedua, dengan ukhuwah kita akan berada di bawah naungan cinta Allah dan dilindungi dibawah Arsy-Nya. Di akhirat Allah berfirman: “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Imam Muslim). Rasulullah Saw. bersabda: “Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Imam Muslim).
Ketiga, dengan ukhuwah kita akan menjadi ahli surga di akhirat kelak. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit atau mengunjungi saudaranya karena Allah, maka malaikat berseru, ‘Berbahagialah kamu, berbahagialah dengan perjalananmu, dan kamu telah mendapatkan salah satu tempat di surga.” (HR. Imam Al-Tirmizi). Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya di sekitar arasy Allah ada mimbar-mimbar dari cahaya. Di atasnya ada kaum yang berpakaian cahaya. Wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukanlah para nabi dan bukan juga para syuhada. Dan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Beritahukanlah sifat mereka wahai Rasulallah. Maka Rasul bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersaudara karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.” (Hadis yang ditakhrij Al-Hafiz Al-Iraqi, ia mengatakan, para perawinya tsiqat).
Keempat, bersaudara karena Allah adalah amal mulia yang akan mendekatkan seorang hamba dengan Allah. Rasul pernah ditanya tentang derajat iman yang paling tinggi, beliau bersabda, “…Hendaklah kamu mencinta dan membenci karena Allah…” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Selain itu apa wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Hendaklah kamu mencintai orang lain sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, dan hendaklah kamu membenci bagi orang lain sebagaimana kamu membenci bagi dirimu sendiri.” (HR. Imam Al-Munziri).
Kelima, dengan ukhuwah dosa-dosa kita akan diampuni oleh Allah. Rasulullah Saw bersabda:  “Jika dua orang Muslim bertemu dan kemudian mereka saling berjabat tangan, maka dosa-dosa mereka hilang dari kedua tangan mereka, bagai berjatuhan dari pohon.” (Hadis yang ditkhrij oleh Al-Imam Al-Iraqi, sanadnya dha’if).
Syarat dan Hak Ukhuwah
Ukhuwah memiliki beberapa syarat dan hak yang harus kita penuhi. Yang pertama, hendaknya kita bersaudara untuk mencari keridhaan Allah, bukan kepentingan atau berbagai tujuan duniawi. Tujuannya ridha Allah, mengokohkan internal umat Islam, berdiri tegar di hadapan konspirasi yang berusaha menghancurkan agama Islam. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya…” (HR. Imam Bukhari).
Yang kedua, hendaknya kita saling tolong-menolong dalam keadaan suka dan duka, senang atau tidak, mudah maupun susah. Rasul bersabda, “Muslim adalah saudara muslim, ia tidak mendhaliminya dan tidak menghinanya… tidak boleh seorang muslim bermusuhan dengan saudaranya lebih dari tiga hari, di mana yang satu berpaling dari yang lain, dan yang lain juga berpaling darinya. Maka yang terbaik dari mereka adalah yang memulai mengucapkan salam.” (HR. Imam Muslim).
Dan yang ketiga, hendaknya kita memenuhi hak-hak umum dalam ukhuwah. Rasul bersabda: “Hak muslim atas muslim lainnya ada enam, yaitu jika berjumpa ia memberi salam, jika bersin ia mendoakannya, jika sakit ia menjenguknya, jika meninggal ia mengikuti jenazahnya, jika bersumpah ia melaksanakannya.” (HR. Imam Muslim).
Tingkatan-tingkatan Ukhuwah
Tingkatan yang terendah dari ukhuwah adalah salamatush shadr, yaitu bersihnya hati kita dari perasaan iri, dengki, benci, dan sifat-sifat negatif lainnya terhadap saudara kita. Jika kita tidak bisa memberikan suatu kebaikan kepada saudara kita, paling tidak kita tidak memiliki perasaan yang negatif kepadanya. Termasuk juga dalam tingkatan yang terendah ini adalah selamatnya saudara kita dari kejahatan lisan dan tangan kita. Jangan sekali-kali kita melakukan kezhaliman kepada saudara kita.
Adapaun tingkatan ukhuwah yang tertinggi adalah itsaar, yaitu lebih mementingkan dan mengutamakan saudara kita diatas diri kita sendiri. Inilah dahulu yang pernah dicontohkan oleh para sahabat Anshor kepada para sahabat Muhajirin di Madinah.
Tahapan-tahapan Ukhuwah
Untuk membangun ukhuwah, diperlukan beberapa tahapan. Yang pertama adalah ta’aruf, yaitu saling mengenal. Pepatah bilang: ‘Tak kenal maka tak sayang.’ Apalagi saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)
Tahapan berikutnya adalah tafahum, yaitu saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan. Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim)
Setelah ta’aruf dan tafahum, yang berikutnya harus kita lakukan untuk mewujudkan ukhuwah adalah ta’awun, yaitu saling membantu dan menolong, tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.
Hal-hal yang menguatkan ukhuwah islamiyah:
  1. Memberitahukan kecintaan kepada yang kita cintai. Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “ Ada seseorang berada di samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang yang disamping Rasulullah tadi berkata: ‘Aku mencintai dia, ya Rasullah.’ Lalu Nabi menjawab: ‘Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?’ Orang tersebut menjawab: ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Beritahukan kepadanya.’ Lalu orang tersebut memberitahukan kepadanya seraya berkata: ‘ Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.’ Kemudian orang yang dicintai itu menjawab: ‘Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.”
  2. Memohon didoakan bila berpisah. “Tidak seorang hamba mukmin berdo’a untuk saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat berkata: ‘Dan bagimu juga seperti itu” (H.R. Muslim).
  3. Menunjukkan kegembiraan dan senyuman bila berjumpa. “Janganlah engkau meremehkan kebaikan (apa saja yang dating dari saudaramu), dan jika kamu berjumpa dengan saudaramu maka berikan dia senyum kegembiraan.” (H.R. Muslim)
  4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim). “Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (H.R Abu Daud dari Barra’)
  5. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara)
  6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu
  7. Memperhatikan saudaranya dan membantu keperluannya
  8. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya
  9. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan

Enam syarat dikabulkannya Do'a

Dikabulkannya doa memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi. Syarat-syarat tersebut menurut uraian Dr. Yusuf Al-Qaradawi setidak-tidaknya ada enam.
ImageSyarat pertama, kita harus berusaha seoptimal mungkin.
Doa tidak akan dikabulkan jika kita tidak mengiringinya dengan usaha optimal. Bagi yang berdoa meminta rizki, Allah tidak akan pernah menurunkan uang dari langit. Bekerja dan berusaha adalah sebuah keniscayaan.
Bahkan kaum muslimin ketika hendak dihancurkan oleh orang-orang kafir, tidak akan mungkin diberikan keselamatan dan kemenangan ketika mereka hanya berdoa tanpa mau maju ke tengah medan pertempuran.
Tidakkkah kita ingat, bagaimana kaum muslimin ditolong pada Perang Badar?
Ketika kaum musyrikin dengan 1000 tentaranya hendak melumat kaum muslimin yang hanya 300 orang, kaum muslimin pun memutuskan untuk menghadapi mereka – sesuai dengan perintah Allah. Baru sesudah mereka berhadap-hadapan dengan pasukan musuh, mereka berdoa, menengadahkan tangan mereka ke langit, meminta pertolongan kepada Allah. “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: ‘Sesungguhnya aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut". (QS Al-Anfal: 9)
Maka Allah pun mengabulkan doa mereka. Allah memenangkan mereka dalam Perang Badar itu.
Begitu pula dengan pasukan Thalut melawan pasukan Jalut, yang kisahnya diabadikan oleh Allah dalam QS Al-Baqarah: 250 – 251. Pasukan Thalut tidak duduk-duduk saja sambil berdoa meminta kemenangan, tetapi: “wa lammaa barazuu lijaaluuta wa junuudihi (ketika pasukan Thalut mau maju, berhadap-hadapan dengan pasukan Jalut di tengah medan pertempuran) barulah mereka berdoa memohon pertolongan dan kemenangan kepada Allah. “Mereka (Thalut bersama pasukannya) berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kesabaran, dan teguhkanlah kaki-kaki kami, dan tolonglah kami atas orang-orang kafir itu.” Maka yang terjadi adalah: “fahazamuuhum bi-idznillah (maka pasukan Thalut pun pengalahkan pasukan Jalut dengan seizin Allah).” Demikianlah usaha itu akan menentukan apakah doa kita akan dikabulkan oleh. Ketika kita sudah berusaha dengan optimal, saat itulah kita berdoa.
Marilah kita melihat diri kita sendiri, umat ini, sekarang ini. Kita berdoa kepada Allah agar menolong agama ini, mengembalikan kejayaan umat ini, tetapi kita hanya duduk-duduk saja, dan enggan untuk mengorbankan tenaga, harta, dan jiwa kita untuk agama ini. Lalu bagaimana doa kita untuk kejayaan umat ini akan dikabulkan oleh Allah?
Syarat kedua, menyambung hubungan yang baik dengan Allah.
Jika kita ingin didengar oleh Allah, maka kita harus memiliki hubungan yang baik dengan-Allah. Namun kenyataannya, kita telah memutus hubungan baik dengan Allah karena kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan, dosa-dosa besar yang merajalela di tengah-tengah kita, dan berpalingnya kita dari syariat dan hukum Allah. Kita melanggar larangan-larangan Allah. Kita lalai dari perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban yang telah Allah tetapkan. Kita telah meninggalkan amar makruf dan nahi munkar.
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh kalian akan terus menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Atau (jika tidak) maka Allah akan menjadikan orang-orang yang paling buruk diantara kalian menguasai dan memimpin kalian, sehingga ketika itu orang-orang yang paling baik diantara kalian berdoa tetapi doanya tidak dikabulkan.” (HR Al-Bazzar dan Ath-Thabrani). Dan dalam riwayat At-Tirmidzi: “Atau (jika tidak) maka hampir-hampir Allah pasti akan menurunkan adzab-Nya, kemudian kalian berdoa kepada Allah tetapi Allah tidak mengabulkannya.”
Allah SWT sendiri dalam QS Al-Hajj: 40-41 berfirman, “Dan sungguh Allah hanya akan menolong orang-orang yang menolong-Nya... (Yaitu) orang-orang yang apabila Allah teguhkan kedudukan mereka di muka bumi maka mereka menegakkan sholat, menunaikan zakat, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Dan kepunyaan Allah-lah kesudahan yang baik.”
Dan dalam QS Muhammad: 7, Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah maka Allah pasti akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian.”
Syarat ketiga, benar-benar ikhlas dan tulus.
Maksudnya adalah mengikhlaskan hati kita setulus-tulusnya hanya untuk Allah. Membersihkan hati kita dari selain Allah, dari penghambaan kepada nafsu, syahwat, dan dunia beserta segala yang ada didalamnya.
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah: 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku (‘ibaadii) bertanya kepadamu (wahai Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah bahwa sesungguhnya Aku ini dekat. Aku akan mengabulkan doa orang yang berdoa ketika ia berdoa. Maka hendaklah mereka menunaikan perintah-perintah-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.”
Perhatikan bagaimana Allah menggunakan kata ‘ibaadii – hamba-hamba Allah. Bukan hamba syetan, atau hamba dunia, atau hamba dinar dan dirham, atau hamba kekuasaan, atau hamba syahwat. Jika kita masih menjadi hamba dari itu semua, Allah tidak akan mengabulkan doa kita.
Keikhlasan sangat penting – dan merupakan salah satu kunci – agar doa kita dikabulkan oleh Allah. Bahkan meski orang-orang musyrik, jika mereka berdoa dengan penuh keikhlasan, maka Allah pun tidak akan segan-segan mengabulkan doa mereka. Sebagaimana yang Allah kisahkan dalam QS Yunus: 22: “Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur".
Dalam keadaan terdesak seperti itu, setiap orang akan kembali kepada fitrah: hanya meminta kepada Allah saja, dengan penuh keikhlasan – keikhlasan puncak, dari lubuk hati yang terdalam – maka Allah pun mengabulkan doa orang tersebut.
Seperti itulah – dengan keikhlasan seperti itulah – semestinya kita berdoa kepada Allah.
Syarat keempat, menyucikan Allah dan mengakui kealpaan diri.
Mari kita lihat bagaimana Nabi Yunus berdoa dan kemudian ditolong oleh Allah, sebagaimana kisahnya diabdaikan oleh Allah dalam QS Al-Anbiya: 87-88. Ketika Yunus berada dalam tiga kegelapan: gelapnya malam, gelapnya dasar lautan, dan gelapnya perut ikan hiu. Yunus berdoa kepada Allah: “Laa ilaaha illa Anta, subhanaka, innii kuntu minazh zhalimiin.” Dalam doa Nabi Yunus as ini, terdapat tiga unsur penting. Pertama, laa ilaaha illa anta, yang berarti tauhid. Kedua, subhaanaka, yang berarti menyucikan Allah. Seolah-olah Yunus as berkata, “Bukanlah Allah yang menzhalimi aku, tetapi diriku sendirilah yang berbuat zhalim.” Dan ketiga, inni kuntu minazh zhalimin yang merupakan pengakuan yang tulus. Yunus as mengakui, “Sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang-orang yang telah berbuat zhalim.” Fastajabnaa lahu wa najjainaahu minal ghamm, maka kemudian Allah pun menyelamatkan Nabi Yunus as.
Dan yang demikian ini tidak hanya berlaku untuk Nabi Yunus as, tetapi berlaku untuk semua orang yang beriman, karena Allah mengatakan di akhir kisah tersebut: “Wa kadzalika nunjil mu’miniin (Dan demikianlah Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman).”
Syarat kelima, menghindari segala yang haram.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman apa yang Dia perintahkan kepada para rasul: ‘Wahai para rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan (QS Al-Mu’minun: 51).’ Dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami anugerahkan kepada kalian (QS Al-Baqarah: 172).” Kemudian Rasulullah saw menyebutkan seorang laki-laki yang sedang menempuh safar (perjalanan jauh), dalam keadaan lusuh dan berdebu, menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.’ Padahal makananya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dagingnya tumbuh dari yang haram. Maka bagaimana doanya akan dikabulkan?”
Mari kita renungkan hadits ini. Orang tersebut sedang safar, yang merupakan salah satu sebab dikabulkannya doa. Apalagi dalam keadaan lusuh dan penuh debu. Dan bisa jadi dia sedang safar dalam rangka haji, atau umrah, atau mencari nafkah, atau menuntut ilmu.
Ditambah lagi dia berdoa sambil mengangkat kedua tangannya ke langit, sambil mengulang-ulang doanya, “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku”, dan sambil mengiba di hadapan Allah.
Ini semua adalah sebab-sebab dikabulkannya doa, tetapi – kata Nabi - fa annaa yustajaabu lidzalika. Doanya tidak akan dikabulkan.
Karena itu, ketika Sa’ad bin Abi Waqqash bertanya kepada Nabi: “Wahai Rasulallah, doakan aku agar doa-doaku dikabulkan oleh Allah.” Maka Rasulullah berkata kepadanya: “Perbaikilah makananmu , maka doamu akan dikabulkan.” Maksudnya: jadikanlah makananmu dan penghasilanmu hanya dari sumber yang halal, maka doamu akan dikabulkan.
Dan syarat keenam, jangan pernah berhenti berdoa.
Rasulullah saw bersabda, “Doa kalian akan dikabulkan selama kalian tidak tergesa-gesa, yakni ketika salah seorang kalian berkata, ‘Aku telah berdoa tetapi doaku tidak kunjung dikabulkan.” Dan dalam riwayat yang lain, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tergesa-gesa itu?” Rasulullah saw menjawab, “Yaitu ketika seseorang berkata, ‘Aku telah berdoa tetapi tidak kunjung dikabulkan’, kemudian dia bosan dan tidak lagi mau berdoa.”
Karena itu, marilah kita terus berdoa. Dan jangan pernah berputus asa. Allah SWT berfirman dalam QS Yusuf: 87: “Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidaklah berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.”

Sastrawan Arab

Amr bin Kultsum

Penyair kedua yang terkenal pada masa jahiliyah adalah Amr bin Kultsum (عمرو بن كلثوم). Kita mulai saja, penyair yang bernama lengkap Amr bin Kultsum bin Malik bin 'Uttaab (عمرو بن كلثوم بن مالك بن عتاب) ini mempunyai gelar Abu al-Aswaad (أبو الأسود). Yah sesuai dengan gelarnya ia termasuk kulit hitam. Penyair yang lahir di bagian Utara Jazirah Arab ini, masuk kejajaran Penyair Mua'allaqat (baca : Mua'llaqat).  Ia pernah berkelana ke Syam, Irak, dan Najd. 
ٍSebenarnya Para Sejarah sastra tidak bisa memastikan kapan ia lahir. Namun, Caussin de Perceval[1]berpendapat Ia lahir sekitar 525 M.
Adapun Bapaknya termasuk salah satu pemimpin kaumnya, menikah dengan Laila binti al-Muhalhal [2](ليلى بنت المهلهل). Ayahnya ini termasuk Penyair gagah terkenal pada perang Taghalib dan Bakar. Maka Abu Al-Aswad ini hidup dikeluarga pemimpin kabilah terkuat pada masa jahiliyah. Maka ada istilah :
لو أبطأ الإسلام قليلا، لأكلت بنو تغلب الناس
Kalaulah Islam lahir mundur sedikit, Akan terkalahkan oleh Bani Taghallub.[3].
itulah sekelumit sejarah sastrawan arab pada zaman jahiliyah; Abu Al-Aswad.

Sastrawan Arab

Zuhair bin Abu Sulma al-Muzanni

Zuhair bin Abu Sulma al-Muzanni, gelarnya disandarkan pada ayahnya yang memiliki anak perempuan Sulma (سلمى), maka ia terkenal dengan Abu Sulma (أبو سلمى). Ia dibesarkan dilingkungan para penyair, maka mempengaruhi ke dua anaknya yang menjadi para penyair yaitu Ka’ab (كعب) dan Buzair (بجير). Ia berumur panjang sekitar 90 tahun, dan mengisi hidupnya menjadi ahli hikmah yang berpengalaman serta memiliki ideology yang positif. Zhair terkenal juga sebagai Shahib al-Hauliyat sebab tidaklah ia membuat puisi kecuali ia akan menganalisinya secara sistematis , ini menunjukkan akan pemahamannya terhadap sastra. Ia wafat sebelum datangnya Islam.
Teks
Teks ini merupakan sebagian mu’allaqat (معلقة) Zuhair lebih dari 60 bait yang ia buat, tentu saja dengan bermacam-macam tujuan, ia memulainya dengan peperangan, menghentikan kerusakan, mendeskripsikan sapi, dan 2 peperangan. Lalu ia memuji 2 tokoh (هرم بن سنان) dan (الحارث بن عوف) yang telah mendapatkan kesepakatan untuk berdamai setelah perang berkepanjangan hampir saja membinasakan mereka. Setelah memuji mereka yang menghentikan peperangan, ia memberikan nasihat dan hikmah; Judul yang di atas.
Maksud dari "Judul di atas", sengaja saya mempertahankannya sebagai tanda terjemahan dari buku الأدب والنصوص . Besok, insyaAllah saya akan mempostingkan Puisi dari Abu Sulma ini yang berjudul حكم وتجارب

Al-Muraqqisy al-Akbar


المرقش الأكبر
Al-Muraqqisy al-Akbar; al-muraqqisy= Penulis, orang yang meperindah. Sesuai dengan gelarnya ia merupakan penyair terbesar pada masa zaman Jahiliyah karena keindahan uslububnya. Nama aslinya adalah Amr bin Sa’ad.
Pada masa jahiliyah terkenal dengan kesukuannya. Mereka mempunyai prinsip :
انصر أخاك ظالما أو مظلوما 
“Bantulah saudaramu; baik dalam posisi salah ataupun benar”.
شجاعة وكرم
إن تبتدر غاية يوما لمكرمة # تلق السوابق منا والمصلينا
إنا لنرخص يوم الروع أنفسنا # ولو نسام بها في الأمن أغلينا
شعث مفارقنا، تغلي مراجلنا # نأسو بأموالنا آثار أيدينا

  1.   Jika suatu saat manusia berlomba-lomba dalam kedermawanan, kitalah yang pertama dan kedua melakukannya.
  2.  Tatkala Perang diri kita murah, Jadi mahal tatkala damai.
  3.   Kita itu terlihat berani dihadapan musuh, dan dermawan; kuali kami terus dipanaskan untuk mempersiapkan para tamu, tapi kami bersifat keras pada orang yang meminta diyat.

Kebanggaan dan Keberanian

Pada masa jahiliyah terkenal dengan sifat-sifat kebanggaan dan keberanian (فخر وحماسة) yang merupakan salah satu sifat yang mulia. Dalam sejarah arab jahiliyah banyak puisi-puisi yang terkenal dengan tema ini, diantaranya sastrawan Amr bin Kultsum (عمرو بن كلثوم) ketika mendapatkan perintah dari Raja Hirah Amr bin Hindun (عمرو بن هند).
Dikisahkan Amr bin Hindun ingin mencoba keberanian Amr bin Kultsum. Pada suatu pertemuan, Amr bin Hindun bertanya : "Diantara orang Arab Ibu siapa yang akan menolak untuk melayani Ibuku?". Diantara yang hadir menjawab : "Laila; dari Suku Taghlibiyah; Ibu Amr bin Kultsum yang berani menolaknya". Maka Raja mengundang Amr bin Kultsum bersama Ibunya..Singkat cerita Amr bin Kultsum dan Ibunya memenuhi undangan tersebut. Ketika mereka datang, Ibu Raja Hiroh memerintah Laila untuk menyediakan hidangannya. Lalu Laila menolak dengan bahasa yang halus : لتقم صاحبة الحاجة إلى حاجتها akan tetapi ia bernada memaksa sambil menghina : يا ويلي يا لذل تغلب terdengarlah oleh anaknya Amr bin Kultsum di ruangan sebelah duduk bersama Amr bin Hindun. Maka ia mengeluarkan pedang lalu membunuh Ibn Hindun. Kemudian ia membuat puisi yang terkenal
"ألا هبي بصحنك فأصبحينا"
Pada halaman ini saya akan menulis beberapa bait dari puisi yang terkenal dari peristiwa tersebut.
أبا هند فلا تعجل علينا # وأنظرنا نجبرك اليقينا
بأنا نورد الرايات بيضا # ونصدرهن حمرا قد روينا
بأي مشيئة عمرو بن هند # تطيع بنا الوشاة وتزدرينا
تهددنا وتوعدنا رويدا # متى كنا لأمك مقتوينا
فإنّ قناتنا يا عمرو أعيت # على الأعداء قبلك أن تلينا
وقد علم القبائل من معد # إذا قبب بأبطحها بنينا
بأنا المنعمون إذا قدرنا # وأنا المهلكون إذا ابتلينا
وأنا المانعون لما أردنا # وأنا النازلون بحيث شينا
ونشرب إن وردنا الماء صفوا # ويشرب غيرنا كدرا وطينا
لنا الدنيا ومن أضحى عليها # ونبطش حين نبطش قادرينا
Baik saya akan coba terjemah bebas saja.
1. Wahai Amr bin Hindun, Janganlah kau tergesa-gesa menyakiti kami. Perhatikanlah, Kami akan memberitahukan kepada siapa kami sebenarnya/
2. Kami adalah kaum perang, pergi untuk berperang. Bendera kami putih, pulang berubah jadi merah. Ternodai dengan darah musuh.
3. Apa maksudmu Amr bin Hindun, menyakiti kami dengan kata-kata kotor dan menghina kami.
4. Kau menakut-nakuti dan mengancam kami, dengan menjadikan kami pelayan untuk Ibumu.
5. Sesungguhnya kekuatan kami, wahai Amr!. Mengalahkan musuh-musuh sebelum kamu dengan mudah.
6. Seluruh Suku tahu dari ma'ad[1]jika membangun Qubbah[2] dengan Ahtha'[3] . Maksudnya seluruh kabilah atau susku di arab tahu akan Kekuatan kami, jika para pemimin kami sudah bersatu.
7.  Kami pemaaf jika berkuasa, dan Penghancur jika ditindas
8. Kami melindungi siapa yang meminta, dan berperang dimana oun berada
9. Kami yang pertama minum air yang bersih, yang lain minum setelahnya kotor dan keruh.
10. Dunia dan isinya milik kami, kami yang menyiksa dan menyakiti. Tak ada seorangpun yang berjalan di depan kami.
Serem banget yah...itulah keadaan bangsa Arab Jahiliah, yang penuh dengan keberanian, keangkuhan, kekuatan, kekerasan...

Rabu, 14 Desember 2011

DASAR-DASAR ILMU BALAGHAH

DASAR-DASAR BALAGHAH
Shifat kalam yang baliigh
  1. Tanaasuq al-ashwaat (kesesuaian bunyi) : a) derajat terendahnya ialah ketiadaan tanaafur huruf, b) derajat tertingginya ialah kesesuaian antara bunyi dan makna.
  2. Tarkib lughawi yang sesuai : a) shahih (bebas dari khatha’ dan syadzdz), b) merepresentasikan makna secara efektif
  3. Mengandung unsur-unsur imajinatif yang berkesan.
Unsur-unsur kalam :
1) Madhmun = makna
2) Syakl = lafazh
Hubungan diantara keduanya ibarat jasad dengan ruh.

Definisi Ilmu Balaghah
Ilmu Balaghah ialah ilmu untuk menerapkan (mengimplementasikan) makna dalam lafazh-lafazh yang sesuai (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaa al-haal).
ImageTujuan ilmu balaghah : 
mencapai efektifitas dalam komunikasi antara mutakallim dan mukhathab.
 
Jenis-jenis Ilmu Balaghah :
Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhaa al-haal.
Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif. Secara umum bentuk penggambaran imajinatif itu ada dua. Pertama, penggambaran imajinatif dengan menghubungkan dua hal. Kedua, penggambaran imajinatif dengan cara membuat metafora yang bisa diindera.
Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna. Kesesuaian tersebut bisa dalam bentuk keselarasan ataupun kontradiksi.

Fashahah 
Berarti implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas.
Fashahah meliputi : 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan makna (tidak gharib). 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu.
Setiap kalimat yang baliigh mesti fashiih, namun tidaklah kalimat yang fashiih itu selalu baliigh.


ILMU BAYAN

Tasybih : uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.

Rukun-rukun atau unsur-unsurnya ialah :
1) Musyabbah : obyek yang ingin disifati
2) Musyabbah bihi : sesuatu yang dijadikan sebagai model untuk perbandingan
3) Wajh al-syibh : sifat yang terdapat dalam perbandingan
4) Aadaat al-tasybih : kata yang dipakai untuk menunjukkan adanya tasybih. Bisa berupa huruf (kaaf, ka-anna), fi’il (hasiba, zhanna, khaala, dsb), atau isim (matsal, syibh, syabiih,dsb).

Tasybih Baliigh : tasybih yang unsur-unsurnya tinggal dua saja yaitu musyabbah dan musyabbah bih.

Tasybih Tamtsili (Tasybih al-Tamtsil, Matsal) : jenis tasybih yang wajh al-syibh nya murakkab dari beberapa sifat, dan biasanya aqli.

Tasybih Dhamni : tasybih yang dipahami dari siyaq (konteks) kalimat, dan biasanya dilakukan dengan dua jumlah atau lebih sebagai ganti dari satu jumlah.

Tasybih Maqlub (Tasybih Yang Dibalik) 

Asalnya, sifat yang ada pada musyabbah bih mesti lebih kuat daripada sifat pada musyabbah. Namun dalam tasybih maqlub, kondisi tersebut dibalik yakni sifat yang ada pada musyabbah lebih kuat daripada yang ada pada musyabbah bih. Pembalikan ini dilakukan untuk tujuan mubalaghah, yakni untuk menunjukkan bahwa sifat yang ada pada musyabbah sudah sangat kuat dan agar perhatian memang tertuju pada musyabbah.

Tujuan-tujuan Tasybih :
Secara umum tujuan tasybih ialah untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera. Adapun secara terperinci tujuan-tujuan tasybih ialah :
1) Bayaan miqdaar al-shifat (menjelaskan kualitas sifat)
2) Taqriir al-shifat (meneguhkan sifat)
3) Tahsiin al-musyabbah (memperindah musyabbah)
4) Taqbiih al-musyabbah (memperburuk musyabbah)
5) Tashwiir al-musyabbah bi shuurah al-thariifah
6) Itsbaat qadhiyyah al-musyabbah

Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
Majaz ada dua macam :
1) Majaz Mursal : majaz yang tidak dibangun diatas tasybih
2) Isti’arah : majaz yang dibangun diatas tasybih, atau penggunaan kata  tidak dalam makna haqiqinya karena adanya hubungan keserupaan (syibh) antara makna yang dipakai tersebut dan makna haqiqinya.

Isti’arah Tashrihiyah : mengemukakan maksud musyabbah dengan menggunakan lafazh musyabbah bih, dan setiap orang mesti akan memahami bahwa maksud yang sebenarnya ialah musyabbah berdasarkan konteks kalimatnya. Dalam hal ini sang penutur menggunakan musyabbah bih dengan menghilangkan musyabbahnya. Konteks kalimat harus benar-benar menunjukkan bahwa musyabbah bih tidaklah digunakan dalam makna hakikinya, tetapi sebaliknya yakni mengandung makna musyabbah. Indikasi yang demikian ini disebut sebagai qarinah al-isti’arah.

Isti’arah Makniyah : Dalam isti’arah ini, musyabbah bih tidak muncul dengan jelas akan tetapi sedikit samar. Lafazh yang menunjukkan isti’arah dengan demikian bukanlah lafazh musyabbah bih melainkan lafazh-lafazh yang mengiringinya atau lafazh-lafazh yang menunjukkan sifat-sifatnya. Lafazh-lafazh ini dinisbatkan kepada musyabbah bih. Jadi, tasybih yang ditimbulkan bersifat mudhmar didalam pikiran.
Apabila suatu isti’arah makniyah menyerupakan sesuatu dengan manusia maka ia disebut tasykhish (personifikasi).

Kinayah : penunjukan terhadap suatu makna yang dimaksud dengan secara tidak langsung, dimana lafazh yang dipakai tidak sampai keluar dari makna haqiqinya ke makna majazinya.
Macam-macam kinayah :
1) Kinayah dari shifat
2) Kinayah dari dzat
3) Kinayah dari nisbah
 
 
ILMU MA’ANI
Asas dari jumlah ialah isnad. Jumlah terbagi dua : jumlah khabariyah dan jumlah insya-iyah.

Khabar dan Insya’
Jenis-jenis insya’ yang terpenting : amr, nahy, istifham, dan tamanniy

Tujuan-tujuan Khabar
1) Tujuan asal dan yang lazim ialah untuk memberitahu kepada mukhathab sesuatu yang belum ia ketahui.
2) Tujuan lainnya ialah ta’tsir nafsi (memberikan kesan kejiwaan) yang meliputi : ‘izhah (nasihat), sikhriyah(olok-olok), istihtsaats (membangkitkan semangat), dan madh (pujian).

Bentuk-bentuk Khabar
1) Uslub (dharb) ibtida-iy : tanpa adat ta’kid, digunakan apabila mukhathab dalam keadaan khaliy al-dzihni.
2) Uslub (dharb) thalabiy : menggunakan satu ta’kid, digunakan apabila mukhathab ragu-ragu sehingga membutuhkan penegasan.
3) Uslub (dharb) inkariy : menggunakan dua ta’kid atau lebih, digunakan jika mukhathab mungkir terhadap khabar.

Amar dan Nahy
Shighat-shighat amar : 1) F’il amar. 2) Fi’il mudhari’ yang didahului oleh laam amr. 3) Mashdar sebagai pengganti fi’il amar
Makna amar : talab al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah.
Makna nahy : talab tark al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah.
Namun terkadang amar dan nahy mempunyai makna lain: 1) Doa. 2) Tahqiir. 3) Tahdiid. 4) Nasihat. 5) Sikhriyyah (olok-olok)

Istifham : Adat-adatnya
1) Dua huruf : hamzah dan hal. Perbedaan antara hamzah dan hal : a) Hamzah bisa digunakan untuk menuntut penentuan pilihan. Dalam hal ini hamzah disertai dengan huruf  “am” (atau). b) Pertanyaan dengan hamzah cocok jika digunakan menghadapi orang yang ragu-ragu atau mendustakan.
2) Sembilan isim : 1.Maa : menuntut definisi hakikat yang ditanyakan. 2.Man : menuntut penentuan yang ditanyakan berupa isim atau shifat yang berakal. 3.Ayyu : menuntut penentuan salah satu dari hal-hal yang di-idhafah-kan kepadanya. 4.Kam : menanyakan jumlah. 5.Kaifa : menanyakan hal (keadaan). 6.Aina : menanyakan tempat. 7.Annaa : terkadang bermakna “darimana (min aina)” dan terkadang bermakna “bagaimana (kaifa)”. 8.Mataa : menanyakan waktu. 9.Ayyaana : menanyakan waktu

Istifham : Makna-makna Yang Ditimbulkannya
Terkadang istifham bisa menimbulkan makna yang bukan makna asli istifham. Makna-makna tersebut ialah:
1) Ta’ajjub
2) Taubikh
3) Istihzaa’
4) Wa’iid
4) Tamanniy
5) Taqriir
6) Istibthaa’
7) Istihtsaats
8) Tahwiil

Tamanniy
1) Laita
2) Hal
3) La’alla
4) Lau laa
5) Lau maa


ILMU BADII’

Thibaaq wa Muqaabalah
Thibaaq : menggabungkan dua hal yang saling bertentangan dalam sebuah kalam.
Muqabalah : jenis thibaq dimana terdapat dua makna atau lebih yang diikuti (disusul) dengan lawannya secara urut.

Sajak : kesesuaian pada akhir dari hentian-hentian (waqaf) pada natsr. Dalam syi’r, yang demikian ini disebut dengan qafiyah.
Sebagian ulama tidak sepakat apabila dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an merupakan sajak-sajak. Dalam hal ini mereka lebih suka menyebutnya sebagai faashilah (jamak : fawaashil). Mereka mengemukakan dua alasan :
1) Sajak itu mesti berulang-ulang sebagaimana qafiyah dalam syi’r. Sementara, apa yang terdapat dalam Al-Qur’an tidaklah seluruhnya demikian.
2) Sajak itu dibuat dengan mengalahkan makna dalam rangka kesesuaian bunyi atau lafazh. Sementara, Al-Qur’an sangat memelihara makna atau menjadikan makna sebagai hal ang terpenting diatas yang lainnya.

Jinas
 : keserupaan lafazh antara dua kata atau lebih tanpa disertai keserupaan makna.
Jinas ada dua : taamm dan naaqish

Tauriyah : penggunaan dua kata yang sama dengan makna yang berbeda

KEWAJIBAN TERHADAP AL-QUR'AN


Ada beberapa kewajiban terhadap al-qur'an :

1. Mengimaninya dengan sepenuh hati.
Kita harus mengimani semua bagian Al-Qur’an tanpa kecuali. Jangan sampai kita hanya mengimani sebagian isi Al-Qur’an – yang sesuai dengan selera dan kehendak kita – dan mengingkari sebagian yang lainnya – yang tidak sesuai dengan selera dan kehendak kita. Ulaaika humul kaafiruuna haqqan “Mereka itu benar-benar kafir”. Sebaliknya, sikap kita terhadap Al-Qur’an adalah: Sami’na wa atha’naa “Kami mendengar dan kami taat”.
2. Membacanya.
Al-Qur’an tidak hanya untuk hiasan dan pajangan. Ia diturunkan untuk dibaca. Tidakkah kita tahu keutamaan membaca Al-Qur’an? Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dan dia mahir dalam membacanya, maka ia akan ditemani para malaikat yang mulia lagi penuh kebaikan. Dan barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mengalami kesulitan maka dia akan mendapatkan dua pahala.” (HR Bukhari dan Muslim) Para ulama mengatakan: satu pahala untuk bacaannya, dan satu pahala lagi untuk kesusahannya dalam membaca.
Rasulullah saw juga mengatakan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi bahwa setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Dan membaca setiap huruf Al-Qur’an merupakan satu kebaikan. Dengan demikian, setiap huruf Al-Qur’an yang kita baca adalah satu kebaikan yang akan diganjar sepuluh kali lipatnya. Subhanallah!
Demikianlah, membaca Al-Qur’an saja sudah dihitung ibadah. Bukan hanya itu. Bahkan mendengarkan bacaan Al-Qur’an saja sudah dijanjikan akan mendapat rahmat. Allah SWT berfirman, “Dan jika dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapatkan rahmat.” Demikian pula majelis-majelis Al Qur’an akan dinaungi oleh para malaikat, yang membentangkan dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai pertanda ridha terhadap apa yang dilakukan dalam majelis tersebut.
Jika kita gemar membaca Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafaat kepada kita. Rasulullah saw bersabda, “Iqraul Qur’aan fainnahu ya’tii Yaumal Qiyaamati syafii’an liashhabihi “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang gemar membacanya ketika di dunia.” (HR Muslim)
Dan bagi orang-orang yang bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, kelak di Hari Qiyamat akan diberi kehormatan untuk membacakan Al Qur’an dihadapan para penduduk Surga. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai)
Karena itu mari kita gemar membaca Al-Qur’an. Canangkan slogan: “Tiada hari tanpa Al-Qur’an”.
3. Memahami kandungannya.
Al-Qur’an tidak hanya untuk dibunyikan layaknya mantra. Yang lebih penting lagi adalah untuk dipahami karena ia adalah kitab petunjuk. Bagaimana ia bisa menjadi petunjuk kalau kita tidak memahami kandungannya?
Cara yang paling ideal untuk bisa memahami kandungan Al-Qur’an tentu saja adalah dengan memahami bahasa Al-Qur’an, yakni bahasa Arab. Oleh karena itu, belajar bahasa Arab itu penting. Namun jika kita belum atau tidak mampu memahami bahasa Arab, bukan berarti kita berhenti dan tidak melakukan apa-apa. Sekarang ini sudah banyak sarana-sarana untuk bisa memahmi kandungan Al-Qur’an, seperti terjemahan, buku-buku tafsir, majlis-majlis taklim yang mengkaji Al-Qur’an, dan sebagainya. Tinggal kita mau atau tidak.
4. Menghafalkannya sesuai kemampuan.
Rasulullah saw bersabda, “Man laisa fii qalbihi syaiun minal Qur’an kal baitil kharb (Barangsiapa yang didalam hatinya tidak ada sesuatupun dari Al-Qur’an ibarat rumah yang rusak).” (HR At-Tirmidzi) Apakah kita mau memiliki hati yang keadaanya seperti rumah yang rusak? Tentunya tidak. Untuk itu marilah kita berusaha sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang kita miliki untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.
5. Mengamalkannya.
Inilah kewajiban yang paling penting, sekaligus yang paling berat. Membumikan Al-Qur’an dalam kehidupan, dengan cara mengamalkannya dalam kehidupan, inilah yang paling sulit. Betapa tidak sulit, karena bahkan dalam kenyataannya justru “kam min qaari-il Qur’an wal Qur’an yal’anuhu (betapa banyak orang yang membaca Al-Qur’an namun pada saat yang justru Al-Qur’an melaknatnya).” Siapakah mereka? Tidak lain adalah orang-orang yang membaca Al-Qur’an, namun dalam kehidupan sehari-hari justru melanggar nilai-nilai dan ajaran Al-Qur’an.
6. Mengajarkan dan mendakwahkannya.
Tidak cukup kita bagus sendirian saja. Kita harus menularkan kebaikan. Demikian pula Al-Qur’an tidak cukup akrab dengan satu dua orang saja, tetapi harus akrab dengan masyarakat. Karena itu kegiatan-kegiatan dakwah yang didalamnya diajarkan dan disebarluaskan ajaran Al-Qur’an harus selalu kita dukung dan kita galakkan.
Inilah enam kewajiban kita terhadap Al-Qur’an. Apakah kita sudah menunaikannya?

Lebih jauh seputar ilmu Nahwu



Salah satu cara untuk mengenal dengan baik sebuah ilmu ialah dengan meninjau sejarahnya, perkembangannya, metode-metode para pakarnya dalam merumuskan prinsip-prinsipnya, membentuk hukum-hukumnya, dan menggali kaidah-kaidahnya.
Ilmu nahwu berbeda dari ilmu-ilmu ke-Arab-an yang lain dari sisi bahwa ia mempunyai sejarah yang cukup unik, dan juga ia mulia atas dasar ketinggian tujuannya yaitu menjaga otentisitas lisan (bahasa) orang Arab secara umum dan Al-Qur’an secara khusus. Hal ini terutama ketika didapati banyak penyimpangan bahasa yang kemudian menggugah kesadaran setiap orang Arab yang takut kepada Allah bahwasanya mereka harus menjaga Al-Qur’an yang tentangnya Allah berfirman,”Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (Al-Qur’an) dan sesungguhnya Kami pulalah yang akan menjaganya”.
Sungguh, ilmu nahwu telah mendapatkan perhatian yang luar biasa dalam perkembangannya, sampai-sampai dikatakan,”Ilmu nahwu telah dipelajari dengan giat sampai “terbakar”’. Yang demkian ini tentu saja menunjukkan adanya gerakan-gerakan ilmiah yang cemerlang sepanjang perkembangannya, terutama pada saat orang-orang Kufah memasuki dunia studi ilmu nahwu sebagai rival bagi orang-orang Bashrah yang selama beberapa saat telah terlebih dahulu memegang panji ilmu nahwu. Persaingan positif tersebut telah mengakibatkan berbagai perbaikan dan pengkajian yang mendalam, sehingga ilmu nahwu pun berkembang dengan cepat dan akhirnya mengalami formasi pada periode yang sangat dini,yang hal itu belum terjadi pada ilmu-ilmu yang lain.
Dan sungguh sejarah kemanusiaan telah mencatat hal tersebut melalui mereka yang telah mengungkap hal yang menakjubkan ini. Sementara, apa yamg sejauh ini dipahami oleh orang-orang Arab tidaklah sebagaimana yang digambarkan diatas, dimana orang-orang Arab telah berusaha keras menyusun ilmu yang paling mula-mula dari ilmu-ilmu bahasa, yakni ilmu nahwu.
Penyusunan ilmu nahwu tidaklah sebagaimana gambaran-gambaran negatif yang telah disebutkan diatas. Penyusunan tersebut mencakup definisi istilah-istilahnya, pembentukan kaidah-kaidahnya, dan penjagaan terhadap hukum-hukumnya. Semua ini merupakan hal yang sungguh-sungguh menakjubkan, yang dilakukan oleh para ahlinya dengan pola pikir Arab. Mereka telah melakukannya dengan tekun dan sungguh-sungguh, meskipun ada sementara kalangan yang karena pretensi buruk meragukan prestasi dan kemampuan intelektual mereka dengan mengatakan,”Sesungguhnya orang-orang Arab telah berhasil melakukan pekerjaan besar ini dengan bersandar pada orang lain yakni para ahli tata bahasa lain seperti India dan sebagainya. Mereka berargumentasi bahwa kebudayaan Yunani – yang merupakan warisan kebudayaan India – telah beralih ke Arab melalui orang-orang Suryani.
Ada pula sekelompok orang yang ingin bersikap tengah-tengah diantara dua pendapat yang ada dengan mengatakan,”Sesungguhnya dasar-dasar metodologi yang dengan itu orang-orang Arab menyusun Ilmu Nahwu mereka bukanlah milik orang Arab, namun implementasi pengembangannya merupakan pekerjaan orang Arab. Namun, agaknya pendapat yang pertama lebih tepat tanpa ada keinginan untuk melebih-lebihkan dan membuat-buat.
Dari sini, dan karena hal ini serta yang lainnya, studi tentang sejarah tata bahasa Arab harus dilakukan dengan teliti, tekun, dan bebas tanpa sikap ekstrim, agar menghasilkan sebuah disiplin ilmu yang bebas dari bias dan manipulasi, yang dipelajari di ma’had-ma’had dan kampus-kampus kita, yang banyak mempelajari bahasa dan tata bahasa Arab. Dengan demikian pada akhirnya para mahasiswa kita akan mengenal khazanah klasik mereka, meyakini orisinalitasnya, dan tsiqah terhadap pemikiran para pendahulu kita yang mana Al-Qur’an telah membukakan mata mereka terhadap kebaikan yang banyak dan ilmu yang beragam. Sebaliknya, mereka pun menjaga Al-Qur’an dari manipulasi orang-orang yang sesat, penakwilan orang-orang yang berpretensi negatif, dan syubhat yang ditiupkan oleh orang-orang yang durjana.

I.BAHASA DAN TATA BAHASA
Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas – sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan diatas.
Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:
  1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)
  2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy)
  3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)
  4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)
Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan penyandaran (isnad), atau dalam analisis yang dipakai oleh Imam Abdul Qohhar Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :
Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya. Apabila Anda meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal)baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.
Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna tertentu. Dalam hal ini, beliau menulis :
Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya. Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.
Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas keteraturannya. Beliau menulis:
Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah, kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.
Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat), perentangan (al-tathwil), pemendekan (al-taqshir), peleburan (al-idgham), pembalikan (al-qalb), penggantian (al-ibdal),pencacatan (al-i’lal), serta keadaan saat terus (washl) dan saat berhenti (waqf). Dari sana kita bisa mengatakan bahwa titik tekan kajian sharf ialah al-shighat wa al-bunyat atau, dengan kata lain, kata (al-kalimat).Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).
Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi) makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan. Ambillah gambaran tentang nomor telepon. Ia merupakan susunan tertentu dari beberapa angka, misalnya 751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut memiliki posisi numeralnya sendiri-sendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun bukanlah 2 atau 1. Demikian seterusnya. Ada yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka 5 pada posisi satuan berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang pertama berarti 5 sementara yang belakangan berarti 50000.
Demikianlah nomor telepon melakukan fungsinya dimana semua persyaratan yang telah diterangkan diatas harus terpenuhi tanpa kecuali. Apabila salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah seperti 5 diubah menjadi 4, atau angka-angkanya ditukar tempatnya, maka fungsinya pun akan hilang.
Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema, tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan pendidikan.
Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman dari satu kesatuan yakni bahasa.
Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik dan funsi ilmu nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata-kata atau ilmu menyusun kata-kata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk dalam aturan-aturan nahwu.
2.PENYUSUNAN ILMU NAHWU
Diantara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah ialah penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan hukum-hukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah sekaligus prestasi pioner dalam bahasa, yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw. Disamping itu, semua ini juga karena lingkungan yang khas dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran yang demikian itu telah menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan sintesis, kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman, yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan kekeliruan.
Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini. Adapun orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh para ahli tata bahasa lain.
Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang penyusunan ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi terdahulu mereka, membentengi diri mereka dari gelombang peragu-raguan dan inferioritas, dan penghancuran khazanah klasik kita yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan Arab.
Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan persoalan yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan ini ialah pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa yang pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini? Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang semua persoalan tersebut akan dibahas berikut ini.

SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang khas dan unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan bahasa secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan bangsa-bangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman sesudah Islam, dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.
Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:
  1. Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati, dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan, politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.
  2. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu sama lain sampai pada batas-batas tertentu.
Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan tersebut, yang fasih maupun dialek. Mereka menggunakan bahasa dialek apabila sedang bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan melakukannya tanpa merasa kesulitan.